Bagaimana Toxic Shame Menghambat Saya Melakukan Aktivitas Literasi

Beberapa bulan ini, well, sepanjang tahun 2021 berjalan lebih tepatnya, saya sedang berada di titik mempertanyakan diri sendiri dan kelayakan saya melakukan kegiatan baca-tulis.

Tentu baca-tulis adalah aktivitas personal dan (semestinya) nggak butuh validasi eksternal. Tapi selama ini saya selalu dihantui pikiran bahwa saya nggak pantas melakukan ini. Selain merasa tidak cukup dan tidak layak, gejala imposter syndrom yang saya alami adalah saya merasa menjadi seorang penipu, saya merasa seperti sedang melakukan penipuan. Rasanya takut, tapi bukan seperti takut ketahuan, karena saya memang nggak benar-benar menipu. Lebih kepada takut jika seandainya ada yang mengetahui fakta-fakta ini, orang itu akan mengecam dan menuduh saya pretensius atau berpura-pura misalnya “Alah, sok bisa nulis lu! Skill masih cetek juga”.

Entah setelah berapa banyak episode berdialog dengan diri sendiri, kira-kira dua hal berikut yang selalu memicu rasa malu teramat sangat tiap kali saya melakukan kegiatan baca tulis. Sebenernya saya malas banget mengingat-ingat yang terakhir tapi harus ditarik runut ke belakang biar jelas apa penyebabnya. Yang pertama mungkin akan terdengar seperti pengakuan dosa.

  • Merasa nggak punya entitlement (kelayakan) karena nggak memenuhi standar tertentu

Aktivitas menulis adalah satu paket dan tak bisa dilepaskan dari aktivitas membaca. Inilah di mana sesuatu yang menurut saya memalukan itu terletak. Ada shame di situ. Harus saya akui saya bukan (re: belum jadi) avid reader, mungkin dalam setahun paling banyak saya hanya pernah menghabiskan 5 buku. Ruminasi di pikiran saya menggambarkan scene kemungkinan terburuk nantinya yang bisa saja terjadi di mana ada orang yang bilang “Bisa-bisanya orang yang jarang baca mendaku diri sebagai seorang penulis” atau “Jarang baca sih, pantes, kelihatan juga dari tulisannya”.

Setelah saya runut kenapa saya bisa berpikir demikian, mungkin berikut ini adalah akar penyebabnya. Di awal perjalanan menulis saya, saya terpapar lingkungan di mana saya dikelilingi oleh para pegiat literasi yang judgemental, tipikal sirkel abang-abangan sastra pegiat literasi yang gemar melakukan shaming, shaming jenis bacaan, shaming jumlah bacaan, shaming selera, shaming relevansi,

“kEnaPa bAcA penulis/buku X?”,

“bIsA-BiSaNyA b3Lum bAcA penulis/buku X!?1?1”,

“bIsA-BiSaNyA MaSih bAcA penulis/buku X di jaman Z?!1!1”.

Tanpa sadar saya menginternalisasi pandangan mereka tentang buku dan tulisan, buku macam apa yang bagus dan jelek, apa yang membuat sebuah karya menjadi baik atau buruk. Menurut mereka semakin berat sebuah bahasan, semakin ndakik-ndakik bahasa penyampaian, semakin kompleks gaya penulisan, semakin bagus sebuah karya sastra, semakin keren kelihatannya untuk dibaca.

Dan saya menginternalisasi itu, saya mengadopsi standar-standar itu untuk menilai sendiri tulisan-tulisan saya, menetapkan standar yang terlampau nggak realistis untuk ukuran perbandingan dengan jam terbang menulis saya.

  • Konsep diri personal yang rendah, yang merembet memengaruhi konsep diri profesional

Sepanjang perjalanan karir menulis saya, saya mengalami beberapa kali penolakan di kehidupan personal saya. Dua di antaranya dilakukan oleh orang-orang yang sama-sama menggeluti bidang literasi.

Orang yang kedua adalah orang yang (dulu) sangat saya kagumi. I admired him a lot, I really looked up to him. Bahkan saya belajar cara menulis punchline jokes berupa extended metaphor nggak nyambung yang menggelitik di akhir kalimat, ya dari meniru dia. He had a big influence on the way I write (kecuali caranya menggunakan huruf s kecil untuk menyebut Soeharto).

Tapi semakin saya mengagumi orang ini, saya seolah menempatkannya di punden berundak layaknya patung dewa Yunani dan malah membuat saya semakin merendahkan diri sendiri. Tiap baca tulisannya, saya jarang mampu baca sampai akhir karena pasti di pertengahan sudah misuh-misuh sambil mencela diri sendiri “Sialan, kenapa aku nggak bisa nulis sebagus itu!”.

Sebenarnya kalo orang lain yang baca pasti ya biasa aja sih, tapi karena ada konteks bias personal di sini jadi saya sampai sebegitunya. Dulu saya pikir punya muse atau seseorang yang menjadi inspirasi dalam menulis, bisa menjadi motivasi. Nyatanya saya salah, di kasus ini kekaguman saya pada orang itu justru bikin kontraproduktif karena selalu memicu rasa insekyur.

He was that kind of abang-abangan sastra with toxic masculinity. Saya benci mengakui ini but he was (and still is tho I try to no longer let it be) that influential to me.

Orang yang pertama, ini yang ter#*&!@$ sih, karena intellectual snob satu itu bener-bener sampe ngerusak mental. Selain sexually body-shaming, he was degrading me intelectually. Selalu ngatain goblok setiap saat. Saya jadi berpikir bahwa semua pikiranku dan produk yang berasal dari pikiranku adalah hal-hal bodoh dan sampah.

Tiap kali menulis saya selalu membayangkan kemungkinan terburuk gimana jika nanti saya bertemu dengan tipe pembaca semacam itu. Dan spesies intellectual snob macam ini sayangnya banyak populasinya di ekosistem literasi. Atau jika lagi kumat catasthropic thinking, bahkan saya menggeneralisir bahwa semua pegiat literasi dan semua pembaca buku adalah orang macam itu dan akan berlaku sedemikian rupa kepada saya dan karya saya.

Irasional memang, tapi memang begitu cara toxic shame memengaruhi pikiran penyintas gangguan mental. Saya tidak sedang menjadikan hal-hal tersebut sebagai alasan untuk menjustifikasi writing slump saya, saya cuma pengen cerita bahwa ada entitas tidak kasat mata yang menghambat proses menulis saya, dan itu hanya ada dan berasal dari dalam pikiran saya sendiri.

Foto oleh cottonbro dari Pexels

Satu pemikiran pada “Bagaimana Toxic Shame Menghambat Saya Melakukan Aktivitas Literasi

Tinggalkan komentar