The Best Revenge Is Letting Go

21 Desember 2021

Saat bangun tidur tadi, pikiran pertama yang terbesit di kepala adalah,

“Gue harus jadi dia”.

What I refer to as ‘her’ is the ideal version of myself that I want to embody. I name-coded my ideal self karena terinspirasi film “The Spy Gone North” di mana pemeran utamanya, seorang pensiunan militer yang beralih jadi intel dengan code name Black Venus, sampai harus membentuk identitas diri baru demi mencapai tujuannya (menyusup ke Korea Utara).

Itu kisah nyata btw. If that worked on him, maybe it would work on me too?? Karena practically, kami sama-sama punya misi, meskipun misiku cuma self improvement aja sih wkwk nggak sampai jadi intel juga.

Tapi setelah sekitar semingguan mempraktekkan ini, kok malah jadi kontraproduktif yaa??

Alih-alih semakin termotivasi justru malah bikin merasa frustasi????

Trus akhirnya refleksi diri, WHAT DID I DO WRONG?!

Ternyata MY WHY-nya yang salah. Motivasiku melakukan self improvement masih muter-muter di sekitar “ingin mengesankan orang-orang dari masa lalu”.

Dan kalau kalian baca post ini, dari sini keliatan siapa aja yang pengen saya kesankan, alias ujung-ujungnya MEREKA-MEREKA LAGI MEREKA-MEREKA LAGI.. hadeh kaga cape apa lo Nad?

I’m torn between “dahlah ngga akan ketemu lagi ini” and “if we happen to bump into each other again on somewhere around Intiland he must be impressed by me and how much better, cooler, and prettier I’ve got”.

Kita terlampau sering mendengar cerita sukses orang yang berhasil karena motivasinya ingin bales dendam, terakhir yang saya baca di Quora adalah pegawai bank biasa yang kerja keras sampe akhirnya bisa sama-sama beli Indomaret dan rumah di kompleks mantan camer yang pernah nolak dan ngehina dia. It was satisfying to read. Tapi kalo dipraktekkin nggak selalu ada baiknya.

Saya baru sadar satu hal, semakin kita termotivasi buat ‘membalas’ kekalahan kita di masa lalu, di pikiran bawah sadar semakin kita mengulang-ulang memori nggak mengenakkan tentang pengalaman tersebut. Memori tentang kekalahan/kegagalan/penolakan pasti mentrigger perasaan yang menyakitkan, utamanya ‘shame’.

Saya terlalu sering bahas ‘shame’ di blog ini sebagai main feeling that I experienced sampai saya bosen dan gumoh, jadi langsung ke kesimpulannya aja deh..

Ini ditulis buat self reminder diri sendiri:

Semakin lu berusaha ingin mengesankan orang, semakin lu mengakui bahwa orang itu jauh lebih tinggi dan mempersepsikan bahwa level lu ada di bawah orang itu. Dan pikiran kayak gini nggak memberdayakan.

Gimana bisa lu coba melampaui sesuatu sementara di saat yang sama lu selalu mempersepsikan diri lu sebagai seseorang yang jauh tertinggal di belakang?

3 pemikiran pada “The Best Revenge Is Letting Go

Tinggalkan komentar